December 27, 2012

Kembali Menatap Jakarta

Saya bangun pagi sekali hari itu, jauh lebih pagi dari biasanya. Mungkin karena saya merasa tegang karena harus melakukan wawancara kerja hari itu, atau mungkin karena saya memang tidak nyaman karena "terpaksa" menginap di kamar kost teman saya, yang sayangnya hari itu "terpaksa" menginap di kantor.

Tampak puluhan bungkus rokok pabrikan Inggris di sudut kamar sewaan berukuran dua kali dua meter yang katanya harus dibayar seharga tiga perempat juta rupiah perbulannya ini. Kamar yang kembali menegaskan bahwa untuk bisa hidup di ibu kota memang butuh lebih banyak nyali dan ketahanan mental. Seingat saya, ketika masih sekolah dan masa awal kuliah, teman saya itu bukanlah seorang perokok, Tapi tumpukan bungkus rokok yang pagi itu saya lihat bertumpuk di sudut kamarnya menjelaskan bahwa ketika beban hidup dirasa sudah terlalu besar, mungkin rokok bisa menjadi teman dan tempat persembunyian untuk kemudian sejenak melupakan kesulitan hidup yang bercampur dengan kerinduan akan kampung halaman

Kamar itu mengingatkan saya pada kamar kost saya beberapa tahun lalu, selain harga sewa yang tidak jauh berbeda, ukuran, warna, dan suasana yang ditransformasikan juga relatif sama. Kamar yang mengingatkan rutinitas pagi yang saya habiskan pada saat saya masih bekerja di Jakarta: suara kesibukan penghuni kos, monitor komputer yang masih menyala, berita pagi di radio, rokok sisa semalam, sebotol air mineral, dan kadang-kadang ada sisa setengah gelas kopi.

Memang tidak mudah hidup di Jakarta, seperti saya tulis di atas tidak hanya dibutuhkan keterampilan dan ijazah sarjana, namun perlu adanya mental yang kuat untuk bisa bertahan, khususnya ketika kita terbiasa dengan nyamannya suasana rumah dan keluarga di kampung halaman. Biaya hidup yang tinggi, upah pekerjaan yang mungkin dirasa tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan ditambah orang-orang yang mungkin menganggap hidup itu adalah kompetisi bisa menjadi semacam komposit yang menguji ketahanan mental kita.

Beberapa tahun lalu, setelah satu tahun mencoba, akhirnya saya gagal, lemahnya mental "bertanding" membuat saya akhirnya terinjak-injak oleh "kompetitor" lain hingga akhirnya bendera putih berkibar. Saya GAGAL, Tereliminasi dan akhirnya kembali bersembunyi di bawah nyamannya ketiak orang tua.

Tapi seperti apa kata pepatah "What doesn't kill you make you stronger" Tidak ada yang perlu disesali. Kegagalan kalau mau mau direnungi bisa jadi pelajaran yang begitu berharga. 

Sekarang setelah bertahun-tahun berlalu, saya mulai berfikir, mungkin kalau ada kesempatan lagi saya akan coba untuk kembali bertarung di sana, dengan strategi dan perencanaan yang jauh lebih baik tentunya. Someday mudah-mudahan.

Sebagai penutup saya kasih oleh-oleh, sebuah gambar yang saya temukan disudut kamar kost teman saya. Gambar sederhana yang mungkin bisa begitu bermanfaat ketika semangat dan mental sudah mulai sedikit lesu.

 

No comments: