February 22, 2013

Jakarta #3




“Don’t judge a book by its cover” mungkin itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kekeliruan saya dalam memandang ibukota. Dulu saya selalu menganggap, selain kesempatan bekerja dan mendapatkan uang, tidak banyak sisi positif yang bisa Jakarta tawarkan untuk saya. Orang-orang yang relatif tidak seramah di kampung halaman, biaya hidup yang mahal, aura persaingan yang dipancarkan oleh setiap orang, kemacetan dan polusi, sampai keringat yang mengalir deras setiap kali keluar dari ruangan ber AC. Tapi nyatanya setelah lebih dalam menyelam, saya sadari Jakarta menawarkan berbagai macam kesempatan untuk saya belajar dan berkembang, termasuk belajar tentang hidup dan bagaimana menikmatinya. 

@fuadhsan

Jakarta #2


Walau nyatanya kota ini menjauhkan saya dari rutinitas yang dulu begitu saya butuhkan, belakangan saya mulai bisa merasa betah dan perlahan mencintainya 

@fuadhsan

Jakarta #1



Bukankah hidup yang seutuhnya itu tercipta dari rangkaian titik-titik tepian yang menggambarkan suatu keadaan yang kontras. Miskin dan kaya, tua dan muda, hingga akhirnya  tangis dan tawa. Di Jakarta ini saya bisa belajar bagaimana memandang hidup dari titik-titik tepian itu. Di Jakarta ini saya bisa melihat kehidupan secara utuh. Bagaimana mereka yang berada di tepian kiri bertahan hidup, dan bagaimana mereka yang berada ditepian satunya lagi bertahan hidup.

@fuadhsan

February 16, 2013


berpikir

Kalau sekarang begitu banyak kegiatan berpikir manusia digantikan oleh mesin dan komputer. saya takut kalau nantinya kemampuan manusia untuk berpikir itu menurun
@fuadhsan

February 5, 2013

Job Desc

Manusia itu memang tidak perlu repot-repot memusingkan hidup mereka akan seperti apa. Tidak perlu stress apalagi sampai gila karena pusing memikirkan hidup. Tidak perlu juga rasanya sampai harus datang ke motivator super sekali hanya karena ingin hidup yang lebih baik. Bukankah tanggung jawab manusia sebatas menjalani hidup. Biar Tuhan saja yang mengurus bagaimana manusia yang satu dan yang lainnya hidup.

- fuadhsan -

February 4, 2013

#Penting 4

Lalu apa sebetulnya pembangunan itu? Sejauh mana pembangunan itu bisa dilihat atau bisa dinilai? Apakah kemajuan pembangunan itu sama dengan bertambahnya gedung-gedung pencakar langit? Apaka kemajuan pembangunan itu bisa dilihat dengan semakin banyaknya jumlah pedagang ayam goreng tepung yang belakangan juga berjualan CD musik? Apakah kemajuan pembangunan itu sama dengan bertambahnya polutan-polutan yang terpaksa kita hirup setiap harinya?
@fuadhsan

Sepak Bola Indonesia


Jangan pernah tanya seberapa besar saya mencintai sepak bola. Karena buat saya, sepak bola itu lebih dari hanya sekadar olah raga. Sepak bola telah menjadi sebuah rutinitas yang melengkapi kepingan-kepingan puzzle kehidupan saya, semacam ibadah yang dilakukan karena cinta dan kebutuhan, bukan karena mengikuti orang tua, tradisi, apalagi paksaan.

Sepak bola tidak hanya melatih raga saya agar senantiasa bugar, namun lebih dari itu sepak bola juga mengajarkan banyak hal pada jiwa saya, termasuk tentang hidup. Dia mengajarkan saya untuk senantiasa berbagi, untuk senantiasa menyeimbangkan semua aspek kehidupan, untuk senantiasa menjaga ritme, kapan harus beristirahat kapan harus bekerja, dan untuk senantiasa bangga menerima kemenangan ataupun kekalahan.

Saya yakin banyak orang Indonesia yang memiliki pandangan yang sama dengan saya, orang-orang yang menjadikan sepak bola sebagai “agama” kedua setelah agama yang tertera dalam kartu identitas mereka. Orang-orang yang lebih memilih menonton Big Match Barcelona melawan Real Madrid dari pada menemani kekasih mereka menghabiskan sabtu malam di pusat-pusat perbelanjaan. Orang-orang yang akan dengan lantang menjawab “Definitely Football” ketika ada yang bertanya apa olah raga favorit mereka.

Perubahan
change happens whether we aware of it or not, disadari atau tidak perubahan pasti terjadi. Begitupun sepak bola, Industri dan kebebasan informasi telah membentuk sepak bola menjadi objek paling digemari di dunia. Kini di luar sana, dimana manusia semakin lupa diri dan merasa berkuasa, sepak bola telah dijadikan sebagai jembatan-jembatan untuk meraih tujuan-tujuan lain. Di Scotlandia sepakbola dijadikan alat untuk perang keyakinan, di Brazil sepak bola dijadikan jalan pintas menuju kaya, dan di lucunya Indonesia sepak bola dijadikan alat pencitraan politik dan ladang adu gengsi kekuasaan. Perubahan-perubahan yang belakangan semakin merusak esensi dari sepak bola itu sendiri.

Saya tumbuh bersama era keemasan Timnas Indonesia, Timnas yang mampu membantai tim Kambodja sepuluh gol tanpa balas, bukan Timnas yang justru terbantai sepuluh gol tanpa mampu membalas satupun. Masa-masa dimana kita tidak gentar hanya karena akan bertemu Thailand di pertandingan berikutnya. Tapi sekarang, ketika akses menuju panggung timnas semakin mudah, ketika laju pertambangan jumlah sekolah sepak bola dapat mengimbangi laju pertambahan mini market, timnas Indonesia justru jatuh ke ranking terendah sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Timnas seperti tim anak bawang di antara tim lainnya. Timnas hancur lebur karena kelakukan para pemimpinnya.
 
Sepak bola Indonesia sekarang hanya dijadikan alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan penguasa yang bahkan mungkin tidak tahu esensi dari off-side itu apa. Salah satu pemain bola pernah menulis pesan di akun twitternya “I miss the old days when football is still something that being talked in a small coffee stall.. I think now it’s just a lil bit too much” Sepak bola di Indonesia telah terlalu jauh melenceng dari akarnya.

Harus diakui kalau saat ini sepak bola Indonesia tidak dalam keadaan yang baik, kalau boleh saya bilang ya sakit atau bahkan sekarat, karena toh belum mati karena masih bisa berjalan walaupun tanpa arah. Kepentingan politik dan kekuasaan seperti kanker yang menggerogoti kemuliaan sepak bola sebagai olah raga yang dicintai mayoritas penduduk dunia. Hanya revolusi atau bahkan reinkarnasi yang bisa menyelamatkan Sepak bola Indonesia.

Kelahiran
Setiap kelahiran selalu membawa harapan baru, terlepas dari baik atau buruknya harapan itu. Begitu pun sepak bola Indonesia, dibutuhkan sebuah kelahiran era sepak bola yang baru untuk kembali membangun harapan dan mimpi akan indahnya masa depan sepak bola Indonesia di masa yang akan datang.

Sejatinya kelahiran itu selalu berawal dari sebuah ketiadaan. Karena terlahir kembali dalam keadaan sehat setelah mati sesaat, jauh lebih baik dari pada memaksaan terus hidup dalam keadaan sekarat. Membunuh lalu kemudian membiarkan sepak bola Indonesia terlahir kembali rasanya jauh lebih bijak dari pada membiarkan dia semakin rusak oleh berbagai macam kepentingan yang tidak akan pernah usai.

@fuadhsan

February Song

1. Sandy Sondoro - Anak Jalanan
2. Iwan Fals - Jangan Bicara
3. Adhitia Sofyan - Bandage
4. Oasis - Don't go away