April 27, 2009

@##$$%...

Dear Diary.

Entah kenapa hari ini saya rindu memaki,

menertawakan orang-orang bodoh yang selalu saja berlaku bodoh dan berbangga diri dengan kebodohannya itu..

April 21, 2009

Ibu Guru Saya..

Pagi itu seorang wanita paruh baya berjaket parasit biru putih dengan motor Honda tua warna hitam memasuki lapangan Sekolah Dasar tempat saya menuntut ilmu. Samar-samar tercium wangi melati saat beliau memasuki ruangan kelas lalu kemudian dengan sedikit berteriak beliau kemudian menyuruh anak muridnya untuk membagi halaman buku menjadi 9 bagian untuk kemudian mendiktekan beberapa soal hitungan yang akan segera direspon cepat oleh ke 52 muridnya.

Hari demi hari kehadiran ibu guru saya tidak pernah lepas dari keriangan kami anak muridnya, walapun dikenal dengan ibu guru galak tapi entah kenapa tidak ada sedikitpun rasa takut pada diri kami, kami mencintai beliau apa adanya, caranya mengajarkan kami bernyanyi lagu kebangsaan, cara Beliau mengajarkan kami bagaimana menjadi seorang pemimpin, cara beliau menanamkan rasa persaudaraan diantara ke 52 muridnya.

Masih teringat jelas dalam kepala saya saat-saat beliau menceritakan kisah tentang gagahnya Seorang Patih dari Majapahit yang mengucapkan sumpah Palapa, atau Lantangnya beliau bernyanyi ketika mengajarkan anak muridnya bernanyi lagu-lagu daerah Sunda atau saat beliau dengan penuh kesabaran beliau menjelaskan cara-cara ”bagi kurung” dan menggambar sebuah trapesium.

Bahkan sampai hari ini masih terngiang-ngiang dalam kepala saya bagaimana suara teriakan marah beliau ketika anak murdinya hanya mengobrol tanpa memperhatikan catatan-catatan di papan tulis, amarah yang menandakan besarnya kasih sayang beliau pada kami, amarah yang timbul untuk mengingatkan pentingnya semangat belajar. Tidak pernah sekalipun terlihat gurat kebosanan dan rasa lelah dalam mengajarkan dan membimbing kami anak-anak muridnya,

Hari ini ibu guru saya telah beranjak tua, tetapi semangatnya tidak pernah ikut menua seiring dengan bertambahnya umur dari sang ibu. Semangatnya masih besar seperti ketika beliau melepas murid-murid nakalnya sebelas tahun lalu. Semangat yang ia tularkan kepada saya beserta ke 51 teman saya lainnya yang tentu sangat mencintai ibu guru kami layaknya orang tua kami sendiri

April 20, 2009

Susah takut senang serakah

Sore tadi sepulang berlibur dari Pulau Ayer, sambil menunggu perahu boat yang akan membawa saya kembali ke pantai Marina, saya menyempatkan mengobrol ringan dengan teman saya didermaga pulau tersebut, tidak banyak topic yang kita angkat dalam pembicaraan tersebut meskipun begitu pembicaraan yang pada awalnya hanya berawal dari masalah tidak serius menyimpang suatu pernyataan berbau quotation yang membuat saya tersadar akan sifat dasar dari manusia,

Bermula dari obrolan mengenai rencana konser “Jamiroquai” dan kualitas musik “Jason Mraz” yang terangkat dari single “I’m yours” dan “Lucky”, pembicaraan berlanjut ke hal-hal serius mengenai “eksploitasi Pocong” sampai eksploitasi balita dalam sinema-sinema elektronik, yang menyinggung tentang kebiasaan orang tua yang membiarkan anak-anak mereka bekerja keras sedangkan mereka diam berlagak menjadi manager yang kemudian menikmati hasil keringat anak-anak yang katanya disayang itu. Pada akhir pembicaraan itu tiba-tiba teman saya mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat takut dan serakah.

Pada umumnya manusia akan selalu merasa takut saat roda kehidupannya membawa dirinya pada posisi kurang baik, atau secara lebih sederhana saat sedang di bawah manusia akan merasa takut, tetapi saat berada di atas manusia itu akan merasa serakah.

Saat berada dalam kondisi ekonomi yang kurang baik setiap manusia akan merasa takut tidak bisa membiayai seluruh kebutuhan materialnya, tidak bisa bayar sekolah, tidak bisa bayar listrik dan internet, bahkan takut tidak bisa membeli makanan untuk bertahan hidup, selalu takut, takut dan takut…

Saat mereka keluar dari posisi ekonomi yang kurang baik lalu kemudian berhasil membalikan roda kehidupan mereka dengan telak dan mutlak, maka bukan roda kehidupan mereka saja yang berubah tetapi seakan sifat kemanusiaan mereka juga berubah, sepertinya mereka melupakan rasa takut untuk berubah menjadi serakah, mereka menggunakan seluruh kemampuan dan kekuasaan yang mereka miliki untuk terus memperkaya diri, dan melupakan bahwa ada orang-orang yang takut mereka tindas.

Mereka lupa saat-saat mereka saling membagi sepiring nasi untuk seluruh anggota keluarga, saat-saat dimana mereka tidak segan membagi sepotong singkong goreng untuk tetangga mereka yang belum makan pagi. Entah kenapa saat sepertinya mereka mampu membelikan satu karung beras untuk satu pedesaan, mereka bahkan membiarkan tetangga sebelah mereka hanya mencium bau daging panggang dan sup asparagus yang keluar dari dapur mereka.. Entah kenapa rasanya sepotong singkong itu terlalu berharga untuk diberikan kepada kerabat mereka yang tidak mampu. Entah kenapa satu karung beras itu tampak sangat mahal jika harus diberikan kepada anak jalanan yang menderita jika dibandingkan dengan handphone wifi mahal untuk mereka gunakan sendiri.

April 19, 2009

Jelek..

Rasanya saat ini otak saya memaksa pemiliknya untuk segera membuat tulisan yang tidak memiliki tujuan dan arah bahkan inti pemikiran yang jelas, entah kenapa rasanya ada dorongan yang entah datang dari mana, memaksa jari-jari saya terus merangkai kata, hingga terciptalah tulisan jelek ini, tulisan jelek yang bahkan tidak pantas untuk saya simpan dalam blog saya ini. Tulisan tanpa maksud yang jelas yang bahkan lebih jelek dari pada tulisan tetangga saya yang berumur Sembilan tahun tentang indahnya warna bunga di depan pagar rumah seorang nenek tua di pagi hari

April 18, 2009

Pocong dan Kuntilanak Menuntut Balas..

Kurang lebih satu bulan yang lalu, Industri film layar lebar, seakan-akan berlomba memutarkan film bertemakan kuntilanak. Ada kuntilanak kamar mayat, kuntilanak satu sampai tiga, kuntilanak merah, kuning sampai hijau bahkan sampai kuntilanak mencari sesuap nasi pun tampak akan segera di angkat ke layar lebar atau layar perak.

Tidak kalah dengan kuntilanak, sang pesaing yang merupakan musuh bebuyutan kuntilanak, yaitu sang pocong dengan ciri khas kain putih dengan ikatan simpul diujung kepala pun semakin sering menghiasi poster-poster film bertajuk “sumpah ini bukan pocong”, “anjrit ada pocong”, “ko pocong lagi sih?”, sampai “pocong di ambang batas usia” pun sepertinya akan segera hadir untuk memuaskan rasa penasaran bangsa Indonesia terhadap pocong.

Kolaborasi keduanya pun telah difilmkan dengan judul “Pocong vs Kuntilanak”, tak heran jika suatu hari akan muncul film “Pocong, kuntianak, dan saus cabai” di industri perfilman Indonesia.

Seiring dengan maraknya film memunculkan pocong dan kuntilanak sebagai peran utama, timbul tanda tanya yang tidak begitu besar dalam kepala saya, apakah para penuhnya jadwal syuting mereka berbanding lurus dengan kesejahteraan yang didapatkan oleh keduanya?? tentu saja TIDAK!!!, tentu saja mereka bekerja sukarela sebagai pemeran utama di film-film tersebut, bahkan tidak ada kontrak kerja yang jelas antara produser film dan pocong serta kuntianak tersebut.

Jelas sekali ada proses eksploitasi yang dilakukan oleh para sutradara dan produser film terhadap pocong dan kuntilanak. Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai Pocong dan Kuntilanak ini mari kita pahami dulu apa arti dari eksploitasi. Menurut artikel yang saya dapat dari wikipedia.org (2009), eksploitasi adalah politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.

Dari pengertian eksploitasi tersebut, jelas sekali bahwa saat ini di dunia perfilman Indonesia sedang terjadi eksploitasi terhadap pocong dan kuntilanak. Mereka dipaksa bekera keras siang dan malam tanpa kontrak kerja yang jelas dan tentu saja tanpa bayaran sedikitpun, mereka hanya bisa menurut terhadap apa yang diperintahkan manusia-manusia itu, mereka tahu sesungguhnya manusia lebih mulia dari mereka, tetapi apakah mahluk yang melakukan eksploitasi seperti itu layak disebut mahluk mulia. Jika saja ada pengadilan antara dua alam yang berbeda, mungkin sudah dari dulu pocong dan kuntilanak itu mengadukan para manusia ke “meja hijau”. Mungkin jika bisa mereka akan mengadukan nasib mereka ke komisi perlindungan mahluk halus, sayang tidak ada lembaga yang dapat menjembatani permasalahan ini, sehingga pocong dan kuntilanak tersebut hanya bisa diam meratapi nasib mereka, menjadi objek tontonan manusia yang suka ditakut takuti.

Mungkin suatu hari pocong dan kuntilanak tersbut akan melakukan pembalasan yang jauh lebih mengerikan terhadap manusia-manusia yang memanfaatkan ketidakberdayaan mereka, mungkin kelak para mahluk halus itu akan mengambil alih posisi para sutradara tersebut lalu kemudian menciptakan film dengan pemeran manusia untuk kemudian dipertontonkan kepada para mahluk halus lainnya.

April 1, 2009

Tangis..

Sore ini di tepi sebuah sungai di Pusat Kota Jakarta ditemani derasnya hujan dan kencangnya hembusan angin, mari temani saya disini memandangi derasnya arus sungai lalu kemudian menangis sejenak tanpa air mata dan suara isakan tanpa mengurangi sedikitpun melankolisme hati merenungi segala caci maki dan kesombongan diri.

Jangan biarkan air mata membuat kita sulit untuk melihat indahnya kehidupan, jangan biarkan suara isak tangis menghalangi lembutnya bisikan suara hati. Biarkan hati kita saja yang menangis tanpa air mata dan suara isak tangis. Bukankah sudah terlalu banyak air di sungai ini bukankah benturan air hujan dan tanah serta kerikil sudah cukup membuat kita harus saling berteriak.

Marilah menangis sejenak bersama saya disini, duduk di tepi sungai ini saling merasakan hangat tubuh lewat telapak tangan kita yang saling bersentuhan tanpa saling berkata-kata hanya memandangi deras nya arus sungai ini bersama lalu kemudian pergi tak bersisa.