September 3, 2012

Kembali memperbincangkan cita-cita


Cita-cita dibangun dari hal yang sangat rapuh, dia dibangun dari persepsi yang terbentuk dari lingkungan yang secara langsung dan tidak langsung mengintervensi ke dalam kepala tiap individu. persepsi yang muncul ketika kita menonton televisi, membaca buku, atau mempelajari perilaku lingkungan sekitar. Disadari atau tidak perspesi tersebut yang menstimulus pola pikir kita hingga akhirnya terbentuk  ekspektasi atau harapan akan cita-cita tertentu. Saya ingin menjadi ini, ingin jadi itu.

Sayangnya persepsi dibentuk dari ingatan-ingatan yang selalu datang dan pergi sesuka hati dengan wujud yang selalu berubah. Dia bisa muncul ketika kepala kita pening karena deadline pekerjaan, ketika hati kita gundah karena masalah percintaan. ketika kita tidak sedang dalam keadaan sehat, tapi ingatan-ingatan juga bisa muncul dengan disaat keadaanya 180 derajat berbeda, saat kita sedang merasa bahagia, saat sedang berlibur. Perbedaan situasi yang tentunya akan merubah persepsi kita akan setiap ingatan. 

Kerapuhan itu yang membuat banyak orang lupa akan cita-cita masa kecil, alasan klise bernama realistis banyak dijadikan tameng orang-orang yang lebih memilih mengalihkan mimpinya menjadi sesuatu yang lain. Sebagai contoh mungkin dari 10 orang teller bank Mandiri hanya ada sembilan, atau tujuh, atau dua atau bahkan sama sekali tidak ada yang bercita-cita sebagai teller.

Beberapa hari yang lalu seorang wanita yang kebetulan bekerja di perusahaan yang berminat untuk merekrut saya bertanya “Cita-cita kamu apa?” Seingat saya, sudah lama sekali ada yang bertanya tentang cita-cita. Mungkin 10 sampai 12 tahunan yang lalu ketika saya masih SD atau SMP. Disaat teman-teman sebaya saya dengan penuh antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban dokter, presiden, astronot, atau beberapa cita-cita favorit lainnnya, seingat saya, saya selalu menjawab “tidak tahu” atau “hmmmph..apa yah?” “gak ada bu”.

Buat saya yang waktu itu masih menganggap motor satria baja hitam itu lebih keren dari pada skuter matic, pertanyaan cita-cita merupakan pertanyaan yang paling saya hindari, pertanyaan yang paling malas saya jawab, semacam pertanyaan “kapan beres kuliahnya” atau “udah sampe mana skripsi atau tesis?”, atau yang mungkin dalam beberapa bulan ke depan akan ditanyakan oleh orang-orang “kapan nikah?” atau mungkin dengan cara yang lebih halus “temen-temen kamu udah pada nikah, kapan atuh nyusul?” damn!! tidak tahukan dia kalau hidup itu bukan balapan motor yang susul-susulan. Kenapa dengan orang-orang itu, apakah mereka memang terlalu baik sehingga begitu tulus dan peduli dengan masa depan saya. Dan setiap pertanyaan itu muncul dengan tegas, saya menjabawa “gak punya” atau “tidak tahu”.

Namun ternyata belakangan baru saya sadar kalau tidak punya cita-cita itu sama sekali tidak keren, ibarat air sungai yang tidak digunakan, tidak mengairi sawah, tidak dipakai mandi, tidak dipakai mencuci, tidak bisa diminum, hanya mengalir sampai akhirnya mati menjadi air laut atau uap air. Saya hidup mengalir saja, melakukan apa yang disuruh, melakukan apa yang perlu dilakukan, tanpa rasa, kalau bosan ya tinggalkan, kalau bisa ya syukur, kalau tidak bisa ya kerjakan yang lain.

Kalau tidak salah, baru tiga tahun yang lalu saya mulai tahu apa sebetulnya cita-cita saya, kerapuhan ingatan saya akan persepsi yang muncul dari stimulus lingkungan membuat saya baru menyadari apa sebetulnya yang ingin saya kerjakan, apa passion saya, apa kegiatan yang membuat saya bahkan lupa tidur dan lupa pacar, hingga akhirnya saya tahu apa peran yang ingin saya ambil sebagai bentuk eksistensi di dunia ini. Mungkin banyak orang bilang terlambat, tapi bukankah lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,bukankah lebih baik pernah mengejar apa yang kita inginkan dari pada sama sekali tidak punya keinginan. Kalaupun gagal, proses mengejar cita-cita rasanya tidak kalah menyenangkan dari pada mewujudkan cita-cita itu sendiri.

Bisa mewujudkan cita-cita yang dibangun dari ingatan-ingatan masa kecil ketika hidup, lalu mati dan masuk surga, tentu sangat menyenangkan, tapi cita-cita juga dibangun dari mimpi, yang setahu saya memang tidak terlalu akur dengan realita. Banyak orang berhasil, namun tidak sedikit juga yang belum berhasil.

Tidak ada hidup tanpa masalah, mengejar cita-cita tentu tidak pernah mudah, selalu ada ujian baik itu kesalahan yang berimbas kegagalan ataupun godaan keberhasilan dalam mimpi yang lain. Mencoba lalu gagal masih jauh lebih baik dari pada tidak pernah ingin mencoba. Seperti saya bilang di atas, kalaupun gagal, proses mengejar cita-cita tentu akan sangat menyenangkan.

No comments: