April 18, 2009

Pocong dan Kuntilanak Menuntut Balas..

Kurang lebih satu bulan yang lalu, Industri film layar lebar, seakan-akan berlomba memutarkan film bertemakan kuntilanak. Ada kuntilanak kamar mayat, kuntilanak satu sampai tiga, kuntilanak merah, kuning sampai hijau bahkan sampai kuntilanak mencari sesuap nasi pun tampak akan segera di angkat ke layar lebar atau layar perak.

Tidak kalah dengan kuntilanak, sang pesaing yang merupakan musuh bebuyutan kuntilanak, yaitu sang pocong dengan ciri khas kain putih dengan ikatan simpul diujung kepala pun semakin sering menghiasi poster-poster film bertajuk “sumpah ini bukan pocong”, “anjrit ada pocong”, “ko pocong lagi sih?”, sampai “pocong di ambang batas usia” pun sepertinya akan segera hadir untuk memuaskan rasa penasaran bangsa Indonesia terhadap pocong.

Kolaborasi keduanya pun telah difilmkan dengan judul “Pocong vs Kuntilanak”, tak heran jika suatu hari akan muncul film “Pocong, kuntianak, dan saus cabai” di industri perfilman Indonesia.

Seiring dengan maraknya film memunculkan pocong dan kuntilanak sebagai peran utama, timbul tanda tanya yang tidak begitu besar dalam kepala saya, apakah para penuhnya jadwal syuting mereka berbanding lurus dengan kesejahteraan yang didapatkan oleh keduanya?? tentu saja TIDAK!!!, tentu saja mereka bekerja sukarela sebagai pemeran utama di film-film tersebut, bahkan tidak ada kontrak kerja yang jelas antara produser film dan pocong serta kuntianak tersebut.

Jelas sekali ada proses eksploitasi yang dilakukan oleh para sutradara dan produser film terhadap pocong dan kuntilanak. Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai Pocong dan Kuntilanak ini mari kita pahami dulu apa arti dari eksploitasi. Menurut artikel yang saya dapat dari wikipedia.org (2009), eksploitasi adalah politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.

Dari pengertian eksploitasi tersebut, jelas sekali bahwa saat ini di dunia perfilman Indonesia sedang terjadi eksploitasi terhadap pocong dan kuntilanak. Mereka dipaksa bekera keras siang dan malam tanpa kontrak kerja yang jelas dan tentu saja tanpa bayaran sedikitpun, mereka hanya bisa menurut terhadap apa yang diperintahkan manusia-manusia itu, mereka tahu sesungguhnya manusia lebih mulia dari mereka, tetapi apakah mahluk yang melakukan eksploitasi seperti itu layak disebut mahluk mulia. Jika saja ada pengadilan antara dua alam yang berbeda, mungkin sudah dari dulu pocong dan kuntilanak itu mengadukan para manusia ke “meja hijau”. Mungkin jika bisa mereka akan mengadukan nasib mereka ke komisi perlindungan mahluk halus, sayang tidak ada lembaga yang dapat menjembatani permasalahan ini, sehingga pocong dan kuntilanak tersebut hanya bisa diam meratapi nasib mereka, menjadi objek tontonan manusia yang suka ditakut takuti.

Mungkin suatu hari pocong dan kuntilanak tersbut akan melakukan pembalasan yang jauh lebih mengerikan terhadap manusia-manusia yang memanfaatkan ketidakberdayaan mereka, mungkin kelak para mahluk halus itu akan mengambil alih posisi para sutradara tersebut lalu kemudian menciptakan film dengan pemeran manusia untuk kemudian dipertontonkan kepada para mahluk halus lainnya.

No comments: