August 3, 2013

Harapan akan Harapan


Saya selalu percaya dibutuhkan berbagai macam sudut pandang untuk bisa memahami suatu keadaan secara menyeluruh. Begitu juga untuk memahami Jakarta.


Belakangan saya gemar berjalan kaki dari kantor ke tempat tinggal saya, walau secara jarak lumayan jauh dan cukup membuat saya berkeringat. Tapi nilai tambah yang saya dapat dari berjalan kaki, ternyata jauh lebih besar dari hanya sekedar capek, pegal, dan berkeringat.

Saya banyak belajar banyak hal dari perjalanan-perjalanan tersebut. Saya mulai mengerti kenapa sedikit sekali orang yang mau berjalan kaki atau naik sepeda ke tempat mereka bekerja. Dari mulai kualitas udara yang buruk, hawa udara yang jelas-jelas tidak sejuk, trotoar yang jauh dari kata layak, pengemis dan preman yang meresahkan, sampai tukang ojek yang entah kenapa menurut saya annoying.

Sambil berjalan kaki ini juga saya mulai mencoba mengkomparasi perbedaan antara keadaan yang saya temukan ketika saya pulang berjalan kaki dan ketika saya memutuskan untuk memakai bus, dan mencoba memahami kenapa seorang penulis asal jepang pernah berpendapat bahwa tingkat kesabaran warga Jakarta sangat baik, Dia jarang atau bahkan hampir tidak pernah mendengar warga Jakarta mengeluh tentang lamanya antrian busway, ugal-ugalannya metro mini atau kopaja, macetnya jalanan ibu kota, dan beberapa permasalahan lainnya, hingga akhirnya dia menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Kangen Indonesia” bahwa penduduk Jakarta itu sabar bukan main.

Tapi nyatanya, bukan itu kesimpulan yang saya dapat setelah beberapa kali saya bepergian dengan menggunakan busway atau bus kota sambil memperhatikan perilaku orang-orang Jakarta sehabis bekerja. Saya melihat kepala-kepala yang selalu tertunduk, tubuh-tubuh yang terlalu letih, dan otot-otot muka yang bahkan terlalu lelah untuk tersenyum. Saya tidak menemukan apa yang orang Jepang itu bilang kesabaran, saya justru menemukan kontradiksi dari kesabaran itu sendiri. 

Menurut saya mereka bukan sabar, mereka sudah berada di titik dimana perasaan skeptis muncul, mereka tidak lagi percaya bahwa keadaan akan menjadi lebih baik, bahwa siapapun pemimpinnya, apapun ide perubahan yang dia canangkan, hasilnya tidak akan jauh berbeda. Singkat kata mereka, mereka itu kehilangan harapan. Sayang sekali memang, karena setahu saya Harapan-harapan itu yang membuat manusia tetap hidup.

Hal-hal tersebut tidak saya temui dari pejalan-pejalan kaki yang seringkali saya temui sepanjang perjalanan, meskipun mereka menghadapi keadaan yang tidak lebih baik, kepulan asap hitam yang terkadang terpaksa terisap, permukaan trotoar yang memperpendek usia alas kaki kami, ataupun motor-motor yang terkadang mencoba mengambil jatah kami.

Ekspresi yang saya temui jauh lebih positif, daripada yang saya temukan di halte-halte busway atau bangku-bangku metromini. Lengkungan senyum masih sesekali terlihat di wajah yang mulai berkeringat, tawa-tawa kecil tercipta dari percakapan antara beberapa orang yang mungkin baru saling kenal. Dan tentu saja, saya masih melihat ada harapan di binar binar mata mereka, harapan akan perubahan yang lebih baik, yang mungkin datang dengan kecepatan yang sama dengan ayunan langkah mereka.

Harapan-harapan yang membuat kita berani untuk bangun dan keluar dari selimut kita di pagi hari.

No comments: