April 23, 2012

Balada Gigi si Tukang Becak

Kemarin saya medapatkan sebuah artikel bagus di republika.co.id
ini saya copas artikelnya:

Dia tak memperkenalkan nama. Hanya terucap usianya hampir melewati 70 tahun. Ceritanya mempesona, bukan karena pandai menggubahnya, tetapi saripati perjalanan hidupnya, membuat siapapun yang mendengar akan terbelalak, terkekeh, juga tersenyum pahit.


Kakek itu, menghabiskan sisa umurnya di atas becak. Dikayuhnya tatkala seorang penumpang menyewa, dijadikan tempat tidur saat malam merambat. Jika perlu hiburan,, ditemani becaknya, ia bercengkrama di warung Pendopo Dalem, pasar Ngasem, persis dibelakang keraton Yogyakarta.

Warung itu tempat berkumpul orang dari berbagai latar belakang kehidupan. Ada tukang becak, seniman dan masyarakat kecil lainnya. Di tempat yang ramah itu, dialog tentang ekonomi sulit, pengangguran, problematika kehidupan rakyat saling timbul. Mereka menumpahkan kegetiran hidup tanpa marah dan maki.
Ditemani segelas kopi, sepotong pisang goreng yang kadang masih utang pada pedagangnya, mereka juga berbincang tentang pemilu. Beberapa gelintir ada yang gigih yakin, partainya mampu mengubah keadaan. Tetapi sebagian besar lainnya memberondong dengan pesimisme.
“Ojo ngimpi mundhak kuciwo mengko”, sergah seorang tukang pijat keliling. (jangan bermimpi, tambah kecewa nanti)
“Demokrasi ternyata ongkosnya mahal ya,” celatuk Ende Reza, seorang seniman pantomim Yogyakarta, yang ikut nimbrung dalam obrolan malam itu.

Tapi demokrasi saat ini menurutnya terbeli oleh para pemilik modal. Demokrasi dikuasai kalangan berduit. Dengan uang, partai politik tumbuh liar. Jembatan demokrasi jadi pengantar seseorang meraih kekuasaan.
Malam, merambat pukul 22.00. Setiap cerita tentu ada lakon. Dan bintang yang bersinar malam itu, balada gigi kakek tukang becak. Ia tak ingat pasti kapan dimulai.

Menurutnya, sekitar sepuluh tahun yang lalu, jika tak salah. Seseorang mahasiswa kedokteran gigi naik becaknya. Di tengah jalan, mahasiswa itu bertanya, apakah kakek tukang becak ini akan menjual giginya.
Mulanya dianggap bercanda, tetapi mahasiswa itu ternyata serius. Tergoda oleh harga yang lumayan untuk ukuran tukang becak, kakek itu benar-benar menjual satu biji gigi depannya. Dia pulang ke rumah membelanjakan uang itu untuk kebutuhan hidup keluarga. Beberapa hari si tukang becak dapat memberikan pasokan gizi lumayan, untuk anak dan istrinya dari penjualan sebiji gigi.

Hari-hari berat berlanjut. Zaman membuat perubahan amat cepat. Selalu ada yang tumbuh, juga ada yang tumbang. Diantara yang ambruk dalam perubahan zaman, tentu tukang becak. Alat transportasi yang kian canggih dan terjangkau, tentu membuat peminat becak kian surut.

Ditekan kebutuhan yang kian sarat dan peminat becak yang makin berkurang, batin kakek itu terusik untuk kembali menjual giginya. Kali ini, ia yang datang sendiri ke mahasiswa itu. Tercabutlah gigi kedua. Ia pulang dan sekali lagi dapat memperbaiki gizi keluarga.

Berikutnya, kakek tukang becak itu seakan ketagihan. Setiap terbelit kebutuhan dan biaya sekolah anaknya, ia datangi mahasiswa itu lagi. Satu awalnya, menyusul dua,tiga, empat, dan akhirnya, bersihlah gigi tukang becak itu dari rongga mulutnya. Tak ada satu bijipun tersisa di mulutnya.

Malam yang kian larut itu, menyaksikan cerita sang kakek dengan murung. Dia awalnya, bercerita sambil terpingkal-pingkal. Orang-orang yang mendengarkannya pun terbahak-bahak. Tapi pada cerita gigi terakhir, mulut kakek itu bergetar. Suaranya berat dan matanya berkaca-kaca. Semua mendadak bisu, tertunduk, dan malu betapa pahitnya kehidupan ini.

Meskipun pengorbanan gigi hingga habis, ia tidak mengakhiri cerita hidupnya dengan sempurna. Kini ia hidup seorang diri, di atas roda becak yang mulai tua. Istri dan anak-anaknya telah pergi. Jika penat membelenggunya di Yogyakarta, sesekali ia pulang ke rumah saudaranya di kampung halaman, Magelang.
“Permisi saya mau pakai gigi dulu,” pinta tukang becak itu memecah senyap. Dia meminta izin mau mengenakan gigi palsunya, untuk mengunyah sepotong tempe. Seolah aktor drama kawakan, suasana sendu saat itu ia ubah jadi penuh tawa lagi.

Kini, ia jadikan balada giginya sebagai cerita penghibur, untuk orang-orang yang mengeluh tentang kehidupan sulit. Tukang becak itu, telah melalui liku-liku kehidupan yang berat. Sudah semua ia lakoni, meski tak juga mengubah nasib hidupnya. Bahkan gigi-giginya, telah mengantar puluhan mahasiswa menjadi dokter gigi….

No comments: