August 27, 2011

Hujan Tanpa Pelangi

Suara teriakan warga bercampur suara pecahan kaca terdengar ketika beberapa orang polisi membawanya keluar dari rumah, sambil tetap menunduk Pelangi bisa melihat warga yang tampak berkerumun di pekarangan bunga yang dulu selalu dirawat ibunya itu.

“Anjing, bangsat, setan, pembunuh!!” Begitu warga meneriakinya,

Beberapa dari mereka bahkan ada yang iseng berusaha memukul wajah ataupun menarik paksa jilbabnya, beruntung polisi sigap melindungi dirinya dari pukulan-pukulan warga, sampai akhirnya ia dibawa dengan sebuah mobil ke kantor polisi.

Satu bulan kemudian, setelah melewati proses hukum yang panjang dia dinyatakan bersalah atas pembunuhan ayahnya.

Masih terngiang hingga kini ketika dengan tegas hakim berkata “25 tahun kurungan penjara”

Ketukan palu yang dilanjutkan oleh tangisan histerisnya. Ia bahkan belum hidup selama itu. Ia berpikir bahwa inilah akhir dari masa depannya. Menghabiskan sisa hidupnya di dalam penjara. Tidak ada lagi tanaman milik ibunya, tidak ada lagi gerobak unik milik ayahnya, hanya jeruji , tempat tidur dan toilet seadanya.

Gadis itu bernama Pelangi, nama yang dia dapatkan hanya karena dia lahir di sore hari setelah hujan reda. Jauh sebelum pembunuhan itu terjadi, Pelangi adalah seorang gadis manis yang jarang bicara. Selain kedua orang tuanya, bunga selalu menjadi teman dia bicara. Bunga yang sebetulnya milik ibunya, yang terkadang membuatnya cemburu, namun tak ragu ia sayangi karena dia begitu menyayangi ibunya.

Bersama kedua orang tuanya, dia tinggal di desa di mana senyum dan keramah tamahan masih menjadi sesuatu yang murah. Suara klakson dan knalpot kendaraan bermotor menjadi sesuatu yang sangat mahal. Disini, kecuali hujan turun, suara tetangga yang sedang berteriak dari dalam rumah dapat dengan mudah terdengar hingga jarak dua sampai tiga rumah.

Selepas pulang sekolah, sambil menunggu ayahnya pulang berjualan, dia biasa menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya, membaca buku-buku tentang berbagai macam pengetahuan, tentang sejarah negara, tentang jenis-jenis hewan dan cara mereka tumbuh. Tentang matahari dan bulan yang datang silih berganti. Terkadang ibunya mengajak dia mengaji dan belajar tentang agama. “Berbaktilah pada orang tua nak, Tuhan menyayangi anak yang berbakti” begitu ibunya biasa menasehatinya sehabis mengaji.

Ayahnya adalah seorang pengidap polio, penyakit yang diderita hanya karena ketidaktahuan orang tua ayahnya tentang pentingnya imunisasi. Penyakit yang akhirnya memaksa ia untuk berjualan bakso karena selalu gagal mendapatkan pekerjaan.

Nyatanya Tuhan memang maha adil, kekurangan fisik yang diderita ayahnya tertutupi dengan tingkat kreativitas yang tinggi. Dengan brilian ayahnya menciptakan gerobak dengan motor penggerak, yang akhirnya mempermudahnya dalam mendorong gerobak ketika harus berjalan berpuluh-puluh kilometer.

Ketika itu dia masih berseragam putih abu dan lebih tertarik dengan bedak dan gincu daripada sepasang boneka yang dulu dihadiahi orang tuanya. Tak ada satupun orang yang meragukan kecantikannya sehingga tidaklah sulit untuk dia mendapatkan perhatian dari banyak lelaki. Selalu terpikir dalam benak Pelangi bahwa hidupnya nyaris sempurna. Orang tua, lingkungan, dan wujud fisik yang rupawan. Apalagi yang perlu dia cari.

Tapi nyatanya memang tak ada gading yang tak retak. Tuhan tidak pernah mengizinkan mahlukNya meraih kesempurnaan yang hanya akan menjadi milikNya.

Suatu malam ketika hujan turun begitu derasnya, Ibunya pergi. Tanpa pamit dan tentu saja bukan untuk kembali.

Ayahnya yang dulu bersahabat dengan ayat suci, kini lebih memilih bersahabat dengan alkohol dan meja judi. Sampai akhirnya, nyaris tidak ada lagi harta yang tersisa. Semua habis di meja judi.

Dalam bernaknya terlintas, bahwa mungkin ini saatnya untuk berbakti, sebagaimana yang diajarkan oleh almarhumah ibunya dulu. Tanpa sempat menyelsaikan sekolahnya, Pelangi memutuskan untuk mencari pekerjaan. Salah satu wujud berbakti yang dia rasa paling tepat dilakukan saat itu.

Pergilah Pelangi mencari pekerjaan, bermodalkan paras cantik dan kemolekan tubuh. Namun untuk mendapatkan pekerjaan rupanya ijazah pendidikan jauh lebih berharga daripada paras cantik, beberapa minggu berselang, pekerjaan tak juga didapatkan.

Sampai suatu hari temannya yang bernama Midah datang menawarinya pekerjaan. Tentunya bukan pekerjaan yang membutuhkan ijazah sebagai syarat utama.

“Kamu hanya perlu menemani pelanggan minum bir. Itu saja!” begitu Midah menjelaskan mengenai pekerjaan itu.

Karena keinginan yang kuat untuk berbakti, maka dengan terpaksa Pelangi mau bekerja ditempat yang orang-orang sebut pub itu. Setiap malam selepas isya, dia gunakan gincu serupa cahaya lampion kemudian membiarkan rambutnya tergerai sampai menutupi payudaranya yang setengah terbuka lalu siap melayani pelanggan menghabiskan gelas demi gelas bir sampai pagi menjelang.

Rupanya Midah lupa atau sengaja lupa menjelaskan bahwa tangan para pemabuk itu kerap kali tidak bisa diam, awalnya jemari itu hanya menyentuh tangan dan wajah, lama-lama merayap ke segala arah. Beruntung peraturan pub yang melarang pelanggan menyetubuhi pelayan di tempat, membuat Pelangi masih bisa mempertahankan kehormatannya.

Batinnya menangis. Ingin rasanya dia berhenti, namun keinginan kuat untuk berbakti membuat Pelangi bertahan. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan untuk kemudian digunakan oleh ayahnya untuk mabuk dan berjudi.

Dengan tubuh molek dan wajah rupawan ditambah dengan pakaian yang menantang, membuat semua pria ingin menyetubuhi dirinya, termasuk ayahnya.

Suatu hari ketika hujan turun begitu deras, sang ayah yang sedang mabuk berjalan ke arah ke kamarnya, dengan langkah sulit ia memaksa masuk, seakan tidak peduli dengan tangisan Pelangi yang semakin kuat, ayahnya terus menghampirinya, lalu dengan paksa menanggalkan satu persatu pakaian yang melekat di badan mereka.

“Jangan takut sayang, ayah cuma mau mengajarkan kamu bagaimana berbakti” begitu kata ayah.

“Jangan ayah, istigfar! Ini Pelangi anakmu”

“Justru karena kamu anakku, maka ibumu tidak akan keberatan bila aku mencintaimu”

“Jangan ayah, jangan.”

Hujan yang turun semakin deras menenggelamkan teriakan Pelangi, semenjak hari itu, setiap hujan turun, ayahnya selalu menyetubuhinya berulang-ulang. Sampai hujan akhirnya reda.

Cinta dan juga keinginannya untuk berbaktilah yang membuat dia tetap bertahan, menutup rahasia perbuatan dosa sang ayah. Bukankah agama melarang manusia untuk membuka aib orang lain. Begitu pikirnya.

Rasa cintanya yang besar pada sang ayah juga, yang akhirnya membuat dia memutuskan untuk membunuh sang ayah. Ketika anjuran agama tak lagi dihiraukan, maka hanya dengan membunuh ayahnya dia dapat menyelamatkan sang ayah dari dosa yang lebih besar tanpa perlu membuat orang lain tau apa dosa ayahnya.

Sekarang di sinilah dia, di balik jeruji, menanti pelangi yang entah kenapa tak juga tiba setelah hujan reda, di cap berdosa karena menyelamatkan sang ayah dari dosa.

No comments: