Jangan pernah tanya seberapa besar saya mencintai sepak bola. Karena
buat saya, sepak bola itu lebih dari hanya sekadar olah raga. Sepak bola
telah menjadi sebuah rutinitas yang melengkapi kepingan-kepingan puzzle
kehidupan saya, semacam ibadah yang dilakukan karena cinta dan
kebutuhan, bukan karena mengikuti orang tua, tradisi, apalagi paksaan.
Sepak bola tidak hanya melatih raga saya agar senantiasa bugar, namun
lebih dari itu sepak bola juga mengajarkan banyak hal pada jiwa saya,
termasuk tentang hidup. Dia mengajarkan saya untuk senantiasa berbagi,
untuk senantiasa menyeimbangkan semua aspek kehidupan, untuk senantiasa
menjaga ritme, kapan harus beristirahat kapan harus bekerja, dan untuk
senantiasa bangga menerima kemenangan ataupun kekalahan.
Saya yakin banyak orang Indonesia yang memiliki pandangan yang sama
dengan saya, orang-orang yang menjadikan sepak bola sebagai “agama”
kedua setelah agama yang tertera dalam kartu identitas mereka.
Orang-orang yang lebih memilih menonton Big Match Barcelona
melawan Real Madrid dari pada menemani kekasih mereka menghabiskan sabtu
malam di pusat-pusat perbelanjaan. Orang-orang yang akan dengan lantang
menjawab “Definitely Football” ketika ada yang bertanya apa olah raga favorit mereka.
Perubahan
change happens whether we aware of it or not, disadari atau
tidak perubahan pasti terjadi. Begitupun sepak bola, Industri dan
kebebasan informasi telah membentuk sepak bola menjadi objek paling
digemari di dunia. Kini di luar sana, dimana manusia semakin lupa diri
dan merasa berkuasa, sepak bola telah dijadikan sebagai
jembatan-jembatan untuk meraih tujuan-tujuan lain. Di Scotlandia
sepakbola dijadikan alat untuk perang keyakinan, di Brazil sepak bola
dijadikan jalan pintas menuju kaya, dan di lucunya Indonesia sepak bola
dijadikan alat pencitraan politik dan ladang adu gengsi kekuasaan.
Perubahan-perubahan yang belakangan semakin merusak esensi dari sepak
bola itu sendiri.
Saya tumbuh bersama era keemasan Timnas Indonesia, Timnas yang mampu
membantai tim Kambodja sepuluh gol tanpa balas, bukan Timnas yang justru
terbantai sepuluh gol tanpa mampu membalas satupun. Masa-masa dimana
kita tidak gentar hanya karena akan bertemu Thailand di pertandingan
berikutnya. Tapi sekarang, ketika akses menuju panggung timnas semakin
mudah, ketika laju pertambangan jumlah sekolah sepak bola dapat
mengimbangi laju pertambahan mini market, timnas Indonesia justru jatuh
ke ranking terendah sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Timnas
seperti tim anak bawang di antara tim lainnya. Timnas hancur lebur
karena kelakukan para pemimpinnya.
Sepak bola Indonesia sekarang hanya dijadikan alat untuk mencapai
kepentingan-kepentingan penguasa yang bahkan mungkin tidak tahu esensi
dari off-side itu apa. Salah satu pemain bola pernah menulis pesan di
akun twitternya “I miss the old days when football is still something
that being talked in a small coffee stall.. I think now it’s just a lil
bit too much” Sepak bola di Indonesia telah terlalu jauh melenceng dari akarnya.
Harus diakui kalau saat ini sepak bola Indonesia tidak dalam keadaan
yang baik, kalau boleh saya bilang ya sakit atau bahkan sekarat, karena
toh belum mati karena masih bisa berjalan walaupun tanpa arah.
Kepentingan politik dan kekuasaan seperti kanker yang menggerogoti
kemuliaan sepak bola sebagai olah raga yang dicintai mayoritas penduduk
dunia. Hanya revolusi atau bahkan reinkarnasi yang bisa menyelamatkan
Sepak bola Indonesia.
Kelahiran
Setiap kelahiran selalu membawa harapan baru, terlepas dari baik atau
buruknya harapan itu. Begitu pun sepak bola Indonesia, dibutuhkan
sebuah kelahiran era sepak bola yang baru untuk kembali membangun
harapan dan mimpi akan indahnya masa depan sepak bola Indonesia di masa
yang akan datang.
Sejatinya kelahiran itu selalu berawal dari sebuah ketiadaan. Karena
terlahir kembali dalam keadaan sehat setelah mati sesaat, jauh lebih
baik dari pada memaksaan terus hidup dalam keadaan sekarat. Membunuh
lalu kemudian membiarkan sepak bola Indonesia terlahir kembali rasanya
jauh lebih bijak dari pada membiarkan dia semakin rusak oleh berbagai
macam kepentingan yang tidak akan pernah usai.
@fuadhsan
Comments