Saya selalu percaya dibutuhkan berbagai macam
sudut pandang untuk bisa memahami suatu keadaan secara menyeluruh. Begitu juga
untuk memahami Jakarta.
Belakangan saya gemar berjalan kaki dari
kantor ke tempat tinggal saya, walau secara jarak lumayan jauh dan cukup
membuat saya berkeringat. Tapi nilai tambah yang saya dapat dari berjalan kaki,
ternyata jauh lebih besar dari hanya sekedar capek, pegal, dan berkeringat.
Saya banyak belajar banyak hal dari
perjalanan-perjalanan tersebut. Saya mulai mengerti kenapa sedikit sekali orang
yang mau berjalan kaki atau naik sepeda ke tempat mereka bekerja. Dari mulai
kualitas udara yang buruk, hawa udara yang jelas-jelas tidak sejuk, trotoar
yang jauh dari kata layak, pengemis dan preman yang meresahkan, sampai tukang
ojek yang entah kenapa menurut saya annoying.
Sambil berjalan kaki ini juga saya mulai
mencoba mengkomparasi perbedaan antara keadaan yang saya temukan ketika saya
pulang berjalan kaki dan ketika saya memutuskan untuk memakai bus, dan mencoba
memahami kenapa seorang penulis asal jepang pernah berpendapat bahwa tingkat
kesabaran warga Jakarta sangat baik, Dia jarang atau bahkan hampir tidak pernah
mendengar warga Jakarta mengeluh tentang lamanya antrian busway, ugal-ugalannya
metro mini atau kopaja, macetnya jalanan ibu kota, dan beberapa permasalahan
lainnya, hingga akhirnya dia menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Kangen
Indonesia” bahwa penduduk Jakarta itu sabar bukan main.
Tapi nyatanya, bukan itu kesimpulan yang saya
dapat setelah beberapa kali saya bepergian dengan menggunakan busway atau bus
kota sambil memperhatikan perilaku orang-orang Jakarta sehabis bekerja. Saya
melihat kepala-kepala yang selalu tertunduk, tubuh-tubuh yang terlalu letih,
dan otot-otot muka yang bahkan terlalu lelah untuk tersenyum. Saya tidak
menemukan apa yang orang Jepang itu bilang kesabaran, saya justru menemukan
kontradiksi dari kesabaran itu sendiri.
Menurut saya mereka bukan sabar, mereka sudah
berada di titik dimana perasaan skeptis muncul, mereka tidak lagi percaya bahwa
keadaan akan menjadi lebih baik, bahwa siapapun pemimpinnya, apapun ide
perubahan yang dia canangkan, hasilnya tidak akan jauh berbeda. Singkat kata
mereka, mereka itu kehilangan harapan. Sayang sekali memang, karena setahu saya
Harapan-harapan itu yang membuat manusia tetap hidup.
Hal-hal tersebut tidak saya temui dari
pejalan-pejalan kaki yang seringkali saya temui sepanjang perjalanan, meskipun
mereka menghadapi keadaan yang tidak lebih baik, kepulan asap hitam yang
terkadang terpaksa terisap, permukaan trotoar yang memperpendek usia alas kaki
kami, ataupun motor-motor yang terkadang mencoba mengambil jatah kami.
Ekspresi yang saya temui jauh lebih positif,
daripada yang saya temukan di halte-halte busway atau bangku-bangku metromini.
Lengkungan senyum masih sesekali terlihat di wajah yang mulai berkeringat,
tawa-tawa kecil tercipta dari percakapan antara beberapa orang yang mungkin
baru saling kenal. Dan tentu saja, saya masih melihat ada harapan di binar
binar mata mereka, harapan akan perubahan yang lebih baik, yang mungkin datang
dengan kecepatan yang sama dengan ayunan langkah mereka.
Harapan-harapan yang membuat kita berani untuk
bangun dan keluar dari selimut kita di pagi hari.
Comments