Cita-cita dibangun dari hal yang
sangat rapuh, dia dibangun dari persepsi yang terbentuk dari lingkungan yang
secara langsung dan tidak langsung mengintervensi ke dalam kepala tiap individu.
persepsi yang muncul ketika kita menonton televisi, membaca buku, atau
mempelajari perilaku lingkungan sekitar. Disadari atau tidak perspesi tersebut
yang menstimulus pola pikir kita hingga akhirnya terbentuk ekspektasi atau harapan akan cita-cita
tertentu. Saya ingin menjadi ini, ingin jadi itu.
Sayangnya persepsi dibentuk dari
ingatan-ingatan yang selalu datang dan pergi sesuka hati dengan wujud yang
selalu berubah. Dia bisa muncul ketika kepala kita pening karena deadline pekerjaan, ketika hati kita gundah
karena masalah percintaan. ketika kita tidak sedang dalam keadaan sehat, tapi ingatan-ingatan
juga bisa muncul dengan disaat keadaanya 180 derajat berbeda, saat kita sedang
merasa bahagia, saat sedang berlibur. Perbedaan situasi yang tentunya akan
merubah persepsi kita akan setiap ingatan.
Kerapuhan itu yang membuat banyak orang lupa akan cita-cita masa kecil, alasan klise bernama realistis banyak dijadikan tameng orang-orang yang lebih memilih mengalihkan mimpinya menjadi sesuatu yang lain. Sebagai contoh mungkin dari 10 orang teller bank Mandiri hanya ada sembilan, atau tujuh, atau dua atau bahkan sama sekali tidak ada yang bercita-cita sebagai teller.
Beberapa hari yang lalu seorang wanita
yang kebetulan bekerja di perusahaan yang berminat untuk merekrut saya bertanya
“Cita-cita kamu apa?” Seingat saya, sudah lama sekali ada yang bertanya tentang
cita-cita. Mungkin 10 sampai 12 tahunan yang lalu ketika saya masih SD atau
SMP. Disaat teman-teman sebaya saya dengan penuh antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan jawaban dokter, presiden, astronot, atau beberapa cita-cita
favorit lainnnya, seingat saya, saya selalu menjawab “tidak tahu” atau “hmmmph..apa
yah?” “gak ada bu”.
Buat saya yang waktu itu masih
menganggap motor satria baja hitam itu lebih keren dari pada skuter matic,
pertanyaan cita-cita merupakan pertanyaan yang paling saya hindari, pertanyaan
yang paling malas saya jawab, semacam pertanyaan “kapan beres kuliahnya” atau “udah
sampe mana skripsi atau tesis?”, atau yang mungkin dalam beberapa bulan ke
depan akan ditanyakan oleh orang-orang “kapan nikah?” atau mungkin dengan cara
yang lebih halus “temen-temen kamu udah pada nikah, kapan atuh nyusul?” damn!! tidak tahukan dia kalau hidup itu
bukan balapan motor yang susul-susulan. Kenapa dengan orang-orang itu, apakah
mereka memang terlalu baik sehingga begitu tulus dan peduli dengan masa depan
saya. Dan setiap pertanyaan itu muncul dengan tegas, saya menjabawa “gak punya”
atau “tidak tahu”.
Namun ternyata belakangan baru saya
sadar kalau tidak punya cita-cita itu sama sekali tidak keren, ibarat air sungai
yang tidak digunakan, tidak mengairi sawah, tidak dipakai mandi, tidak dipakai
mencuci, tidak bisa diminum, hanya mengalir sampai akhirnya mati menjadi air
laut atau uap air. Saya hidup mengalir saja, melakukan apa yang disuruh,
melakukan apa yang perlu dilakukan, tanpa rasa, kalau bosan ya tinggalkan,
kalau bisa ya syukur, kalau tidak bisa ya kerjakan yang lain.
Kalau tidak salah, baru tiga tahun
yang lalu saya mulai tahu apa sebetulnya cita-cita saya, kerapuhan ingatan saya akan persepsi yang muncul dari stimulus lingkungan membuat saya baru menyadari apa sebetulnya yang ingin saya
kerjakan, apa passion saya, apa
kegiatan yang membuat saya bahkan lupa tidur dan lupa pacar, hingga akhirnya
saya tahu apa peran yang ingin saya ambil sebagai bentuk eksistensi di dunia
ini. Mungkin banyak orang bilang terlambat, tapi bukankah lebih baik terlambat
dari pada tidak sama sekali,bukankah lebih baik pernah mengejar
apa yang kita inginkan dari pada sama sekali tidak punya keinginan. Kalaupun
gagal, proses mengejar cita-cita rasanya tidak kalah menyenangkan dari pada
mewujudkan cita-cita itu sendiri.
Bisa mewujudkan cita-cita yang
dibangun dari ingatan-ingatan masa kecil ketika hidup, lalu mati dan masuk
surga, tentu sangat menyenangkan, tapi cita-cita juga dibangun dari mimpi, yang
setahu saya memang tidak terlalu akur dengan realita. Banyak orang berhasil, namun tidak sedikit juga yang belum berhasil.
Tidak ada hidup tanpa masalah,
mengejar cita-cita tentu tidak pernah mudah, selalu ada ujian baik itu
kesalahan yang berimbas kegagalan ataupun godaan keberhasilan dalam mimpi yang
lain. Mencoba lalu gagal masih jauh lebih baik dari pada tidak pernah ingin
mencoba. Seperti saya bilang di atas, kalaupun gagal, proses mengejar cita-cita
tentu akan sangat menyenangkan.
Comments